Bidan di era Reformasi
Cara pandang saya kali ini tertuju pada realita era reformasi yang "katanya" sebagai titik awal kebebasan seluruh rakyat dalam memperjuangkan hak. Ya sebagai rakyat tentu saya juga punya hak tersebut hak berpendapat sebagai mana termuat dalam pasal 28 UUD 45. Lalu pendapat apa yang hendak disuarakan? apakah sebatas berpendapat tanpa berujung solusi. Mungkin lebih baik saya sebut tulisan ini sebagai ungkapan isi hati menyangkut kesenjangan sosial di beberapa sektor kehidupan di negara tercinta ini.
Isi hati saya sedang merasakan ketidakadilan yang dilakukan pemerintah menyangkut anggaran kesejahteraan. Saya dan mungkin anda semua masih ingat betapa sejak era reformasi bergulir, hampir setiap presiden yang kita angkat, hampir tidak pernah memperhatikan nasib mereka yang bekerja atau berprofesi sebagai Bidan. Ma'af seribu ma'af, berkali-kali yang diperhatikan adalah peningkatan dana pendidikan yang kemudian diteruskan dengan perbaikan fasilitas pendidikan, lalu dinaikkannya kesejahteraan guru, gaji dosen, yayaya gaji para pahlawan tanpa tanda jasa.
Isi hati saya sedang merasakan ketidakadilan yang dilakukan pemerintah menyangkut anggaran kesejahteraan. Saya dan mungkin anda semua masih ingat betapa sejak era reformasi bergulir, hampir setiap presiden yang kita angkat, hampir tidak pernah memperhatikan nasib mereka yang bekerja atau berprofesi sebagai Bidan. Ma'af seribu ma'af, berkali-kali yang diperhatikan adalah peningkatan dana pendidikan yang kemudian diteruskan dengan perbaikan fasilitas pendidikan, lalu dinaikkannya kesejahteraan guru, gaji dosen, yayaya gaji para pahlawan tanpa tanda jasa.
Lalu bagaimana dengan nasib dana kesehatan. Kita tentu menyadari bahwa peningkatan mutu pendidikan sangat penting bagi sebuah bangsa dan negara, suatu bangsa tidak akan mungkin maju dan berkembang jika rakyatnya bodoh atau miskin pendidikan, namun di sisi lain bukankah kualitas kesehatan suatu bangsa juga menjadi hal yang sangat mendesak bagi setiap negara di dunia? khususnya menyangkut kematian ibu dan bayi ketika proses persalinan. Secara rasio yang sederhana ingin rasanya saya bertanya kepada pemerintah, kepada bapak presiden, bapak menteri, bapak gubernur, bapak/ibu pejabat semuanya termasuk para anggota parlemen, mungkinkah anda semua bisa ada di dunia ini terlahir begitu saja, (ma'af) apakah seperti induk ayam yang bertelur tanpa membutuhkan proses persalinan? Apakah semasa anda bayi sudah membutuhkan asuhan atau pengajaran dari seorang guru di sekolah? masa bayi yang merupakan masa awal adaptasi anda di bumi, kemana kira-kira ibu anda membawa anda untuk dikonsultasikan perihal kesehatan anda sebagai balita, kemana anda diimunisasi saat itu? Ya saya tahu jawaban anda semua adalah, "Ma'af ya neng Lilis, saya lupa. Karena waktu itu saya masih bayi". Ya sebuah jawaban konyol yang semoga saja sebatas di mimpi buruk saya. Akan tetapi yang memprihatinkan ketika katanya anggaran kesehatan sudah dinaikkan, namun keadilan dan kebijaksanaan justru belum dirasakan oleh kebanyakan tenaga kesehatan, khususnya bidan.
Bidan yang merupakan bagian inti dari dunia kesehatan bukan sebatas profesi sebagaimana anggapan kebanyakan orang, justru menjadi bidan merupakan panggilan nurani sebagai makhluk sosial. Tidak hanya ada di saat sang fajar bercahaya, melainkan ketika sang rembulan pun bersinar di kegelapan malam maka nurani mereka pun juga senantiasa bersinar tidak pernah redup. Bukan hendak menggurui, bukan juga merasa iri pada profesi lain hanya saja tanpa profesi ini apakah mungkin angka kematian ibu dan balita dapat berkurang di negeri ini dengan populasi penduduk terbesar ke lima di dunia? Entah pertanyaan ke berapa yang saya lontarkan, namun melalui tulisan ini saya ingin mengetuk hati para pengambil kebijakan di negeri ini bahwa bidan juga perlu diperhatikan nasib dan kesejahteraannya. Menjadi bidan tidak semudah menjadi profesi yang lain, menjadi bidan butuh perjuangan, tidak sebatas bermodal dana tapi juga kepintaran otak dan kemampuan fisik yang prima.
Bidan insya Allah akan selamanya identik dengan keikhlasan, kesabaran, dan tanpa pamrih, namun semoga sifat yang melekat pada diri setiap bidan tersebut tidak dijadikan alat oleh oknum pejabat tertentu untuk terus memperlakukan bidan secara tidak adil, Ya mentang-mentang bidan itu bekerja dengan ikhlas, sabar, dan tanpa pamrih bukan berarti hak-haknya dilupakan begitu saja. Mari seluruh bidan di Indonesia kita bersatu, kita harus bersuara, tanpa bersuara kita tidak akan didengar. Maju terus Bidan-bidan di Indonesia. Kita bersama mengurangi angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB).
Bidan insya Allah akan selamanya identik dengan keikhlasan, kesabaran, dan tanpa pamrih, namun semoga sifat yang melekat pada diri setiap bidan tersebut tidak dijadikan alat oleh oknum pejabat tertentu untuk terus memperlakukan bidan secara tidak adil, Ya mentang-mentang bidan itu bekerja dengan ikhlas, sabar, dan tanpa pamrih bukan berarti hak-haknya dilupakan begitu saja. Mari seluruh bidan di Indonesia kita bersatu, kita harus bersuara, tanpa bersuara kita tidak akan didengar. Maju terus Bidan-bidan di Indonesia. Kita bersama mengurangi angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB).
Comments
Post a Comment